Logika
“Karena kalau memang
waktunya tidak sama, bukankah itu berarti tidak jodoh ?”
Itu benar pikirnya
dalam hati. Hatinya menciut. Kemungkinan memang bukan jodoh, atau memang
mungkin bukan jodoh, tapi perasaan yang dimilikinya sekarang adalah nyata,
senyata air hujan yang jatuh di atap kamarnya, senyata dingin yang mulai
merayapi tubuhnya.
“Aku hanya ingin
bersamanya”, jawabnya lagi. Memberikan beribu alasan untuk melegitimasi
tindakannya.
“Dan ketika kau
bersamanya, kau akan berharap lebih. Itu adalah hukum alam, sifat manusia. Kau
tidak akan merasa puas. Tidak akan pernah. Permasalahan utamanya adalah ia
telah hilang rasa. Dan kau tak bisa juga memaksakan rasamu padanya. Bukankah
memang itu kodrat kita sebagai wanita ? Menunggu orang untuk datang, lelaki
yang mulai menyukai sejenisnya itu”
Ia terdiam. Seluruh
logika yang ada pada otaknya mulai mencari beribu alasan lain. Menjawab dan
membelokkan seluruh pernyataan temannya. Tapi buat apa ? Hatinya yang suka dan
hatinya yang menyadari kebenaran ucapan orang dihadapannya telah menciut. Lebih
ciut dari tikus ketakutan kucing, meski sekarang banyak tikus yang lebih besar
dan memakan kucing. Tapi buat apa ? Seluruh ego yang masih tersisa dalam
dirinya pun tak akan membenarkan tindakannya. Hanya emosi sesaatnya yang bisa
ia andalkan.
“Jadi aku harus
melupakannya ? Tak bolehkah aku menyukainya ?”
“Bicara boleh, itu
dirimu yang tahu. Masalah melupakan tak perlu juga kau risaukan. Semakin besar
usaha kau melupakan, toh semakin kau akan mengingatnya. Terima saja. Terima
dirimu yang suka padanya. Dan hargai dirimu juga. Bagaimana bisa kau
mengharapkan ia akan menghargaimu bila dirimu saja tidak.”
“Jadi sekarang masalah
harga menghargai ?” candaku.
“Kau tak ternilai tentu
saja. Ah, kau pintar, kau mengerti maksudku.”
“Aku ingin lari..”
“Buat apa ? Kau tak
akan pernah bisa lari dari dirimu sendiri sayang. Hadapi saja, lakukan satu-satu.
Jangan lari dari tanggung jawabmu, nanti Tuhan yang akan memberi hakmu. Oh dan
tunggulah, sesungguhnya aku pun menunggu”.