“Kira-kira apa hal yang paling menyedihkan di dunia ini ?”
“Kira-kira apa hal yang paling menyedihkan di dunia ini ?”
Saya mencoba
untuk menjawab pertanyaan di atas. Setelah saya renungkan untuk beberapa sekian
detik, atau menit mungkin, hal yang paling menyedihkan bukanlah disaat sedang
merasa layaknya manusia paling kesepian di dunia, bukan juga masa lalu yang
begitu menyakitkan, atau bahkan masa sekarang yang bahkan sulit untuk dijalani,
tapi perasaan, hati, fisik, dan jiwa yang tidak bersyukur kepada Sang Pencipta,
Sang Maha Punya. Seringkali kita lupa bahwa hanya dengan mengingat Allah SWT
hati menjadi tentram. Layaknya lagu Aa Gym yang baru-baru ini baru saya yakini
kebenarannya karena telah terbukti secara empiris berdasarkan pengalaman yang
saya alami beberapa tahun belakangan.
“Bila hati kian
bersih, pikiran pun akan jernih, semangat hidup nan gigih, prestasi mudah
diraih. Namun bila hati keruh, hatipun kian gemuruh, dengan Allah kita jauh,
jadi makhluk terkutuk”
Kira-kira
begitulah lirik lagu (maaf bila salah, saya memiliki kebiasaan untuk mengubah
lirik lagu dan mengingat yang telah saya rubah) yang telah saya alami. Sewaktu
kali pertama mendengar lagu ini, yakni ketika saya masih merupakan ‘anak
sekolahan’, saya tidak terlalu peduli dengan artinya. Layaknya seorang pencinta
yang akan bisa meresapi lagu-lagu cinta dengan lebih seksama, atau pembenci
yang merasakan dukungan dari lagu mendendam, saya merasakan sangat merasakan
lagu ini. Bila saya renungkan, di masa lalu saya tidak pernah benar-benar
merasa memiliki hati yang bergemuruh. Kehidupan saya waktu sekolah memang tidak
berbeda jauh dengan kehidupan remaja lainnya, labil dan penuh ketidakpuasan.
Tapi meskipun begitu, saya tidak pernah merasa hati saya bergemuruh. Itu karena
saya masih tinggal dengan kedua orang tua yang selalu mengingatkan saya untuk
shalat dan melakukan ritual agama lainnya agar tidak jauh dari ajaran agama.
Setelah melalui kehidupan ‘indekos’, saya mulai merasakan apa yang dinamakan
dengan ‘pencarian jati diri’. Lucu sebenarnya. Sewaktu SMA, teman saya yang
bernama Ical, yang telah lebih dulu merantau ke Bandung, menyatakan bahwa ia
sedang melakukan pencarian jati diri. Saat itu saya mengejeknya dan berpikir
bahwa dia terlalu berlebihan. Tapi justru itu yang saya rasakan saat ini. Ya,
merantau adalah perubahan. Atau mungkin justru pengalaman adalah perubahan.
Atau layaknya pemikiran Faucault, pengetahuan menciptakan perubahan.
Entah karena
merantau, pengalaman, pengetahuan, atau bahkan akumulasi dari tiga hal ini yang
merubah diri saya dan menyadarkan diri ini akan banyak hal. Yang pasti adalah
hal ini telah mengingatkan saya untuk selalu senantiasa bersyukur kepada Allah
SWT atas segala nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada saya. Bukan karena
saya adalah seorang yang shalehah, tapi karena saya membutuhkan Allah SWT,
karena hanya dengan bersyukur, hanya dengan mengingat Allah SWT, saya dapat
melarikan diri sejauh-jauhnya dari hal yang paling menyedihkan di dunia.