Perempuan di Titik Nol
Kemarin
sore, sekitar pukul 17.00 WIB tanggal 23 September 2014, saya meminjam tiga
buah buku di perpustakaan batu api. Dua buku feminism yang ditulis oleh Nawal
El Sadaawi, seorang penulis dan dokter dari Mesir, dan sebuah buku mengenai
pemikiran Tolstoy yang ditulis oleh Stefan Zweig. Kemarin malam saya telah
melahap habis satu buku Nawal yang berjudul Perempuan di Titik Nol dan
terkesima. Dan hari ini, saya telah membaca 155 halaman buku Nawal yang lainnya
yang berjudul Perjalananku Mengelilingi Dunia. Setelah membaca dua buku ini,
saya sangat terkejut dengan betapa bermanfaatnya waktu terasa dan betapa
lamanya waktu berjalan ! Selama ini saya selalu berpikir bahwa waktu itu
mengerikan. Selalu mengejar-ngejar dan cepat. Tapi sekarang saya justru takjub
dengan betapa lamanya waktu dan betapa nikmatnya waktu itu !
Banyak
yang mengatakan bahwa ketika kita benar-benar menikmati waktu, maka waktu akan
terasa semakin cepat. Dan jujur saya percaya hal ini 100 persen. Tapi hal ini
mulai kabur ketika saya mengalami fenomena yang saya alami ini. Waktu terasa
berjalan begitu lambat dan terasa nikmat ! Benar-benar nikmat ! Mungkin ini
dikarenakan saya berpikir. Bukankah Socrates menyatakan bahwa “aku berpikir
maka aku ada”. Dan kalau dipikir-pikir, ini termasuk falsification dalam
pemaknaan waktu di hidup saya.
Setelah
saya melahap habis Perempuan di Titik Nol, saya mulai merenungkan banyak hal. Perenungan
ini berbeda dengan perenungan yang biasa saya lakukan setelah saya membaca
novel atau tulisan apa pun itu. Mungkin ini dipengaruhi oleh diskusi saya
bersama Winda dan Lupita yang nyastra pisan dan akhirnya jadi menularkan
pemikiran-pemikiran mereka yang menurut saya baru dan keren tidak hanya ke
dalam otak saya, tapi juga jiwa saya. Saya yang dulu sudah pasti akan menghina
Firdaus dan sekenanya mengidekan hal-hal yang menurut saya seharusnya dilakukan
oleh Firdaus, layaknya mengapa ia tidak pergi saja ke luar negeri ? Akan
tetapi, saya yang sekarang, yang telah berdiskusi dengan beliau-beliau di atas,
merenungi lebih dalam novel ini. Saya merenungi dan mencoba mengerti Firdaus,
sekaligus mencoba mengerti Nawal. Saya mulai terkesima dengan ketegaran
Firdaus, dengan kekuatannya yang mungkin tidak akan saya miliki ketika saya
berada di posisi dia. Dan saya mulai melihat keadaaan lingkungan Firdaus yang
berada jauh di Afrika Utara sana dengan keadaan lingkungan saya di Indonesia.
Dan betapa terkejutnya saya ketika menyadari bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan dari lingkungan kami. Pada kenyataannya, posisi perempuan di
Indonesia juga tidak diuntungkan, pada kenyataannya, perempuan memang selalu
dilihat dengan penuh birahi oleh laki-laki, pada kenyataannya, banyak perbuatan
yang apabila dilakukan oleh laki-laki dimaklumkan tapi tidak untuk perempuan.
Dan kenyataan ini menyakitkan. Kebenaran selalu menyakitkan.
Saya
empati terhadap Firdaus. Perasaan yang sangat jarang saya dapatkan tapi sering
saya dengungkan. Selama ini, mungkin lebih tepatnya beberapa tahun terakhir
ini, saya selalu berpikir bahwa saya mengerti, semua orang memiliki sudut
pandangnya masing-masing. Tapi pada dasarnya saya tidak. Di mulut saya akan
menyatakan bahwa saya mengerti dan memahami, tapi secara sadar atau tidak, saya
akan merasa yang paling benar dan dia salah. Tidak ada empati sedikit pun.
Entah itu karena pemahaman agama saya yang salah atau karena budaya dan
identitas yang telah terlalu melekat kuat. Tapi saya arogan, dan mungkin masih.
Sedangkan
setelah saya membaca 155 halaman Perjalananku Mengelilingi Dunia, saya
merasakan rasa malu yang amat sangat terhadap Nawal. Saya merasa seperti
seseorang yang terlaknat, merugi serugi-ruginya. Allah SWT telah menyatakan di
dalam suratnya bahwa manusia yang sama dengan hari kemarin saja adalah manusia
yang merugi, apalagi yang lebih buruk ? Sedangkan saya adalah manusia yang
semakin hari semakin jadi saja hal-hal buruknya. Tapi Allah menyayangi saya
dengan kasih sayang Yang Maha. Allah SWT selalu memberikan saya teguran cinta
dengan banyak hal. Dengan kecelakaan yang menimpa saya baru-baru ini dan dengan
diskusi yang ditakdirkannya yang membuat saya tergugah untuk meminjam buku ke
Batu Api dan memiliki ide-ide dan pemikiran-pemikiran baru. Allah SWT dengan
kasih sayang-Nya Yang Maha telah menumbuhkan rasa malu yang teramat sangat
kepada Nawal. Seorang dokter yang berjiwa sosial dan sadar akan politik
layaknya Che Guevera. Nawal tidak hanya telah memanfaatkan waktunya dengan
baik, akan tetapi ia terus-menerus belajar dan dengan rendah diri terus-menerus
menimba ilmu dimana-mana. Hal ini sangat berbeda dengan saya yang apatis dan
berpikir bahwa konferensi-konferensi ataupun seminar-seminar atau apa pun
bentuk diskusi politik hanya itu-itu saja. Tidak ada hal yang baru. Tapi Allah
SWT dengan perantara Nawal, batu api, lupita, dan winda telah membuka pemikiran
saya bahwa ada sesuatu yang begitu penting dengan terus-menerus mencari tahu.
Karena dengan itu lah jalan surga terbuka, dengan tahu dan melakukan yang
terbaik karena telah tahu yang benar.
Jujur,
saat ini saya masih belum tahu benar apa yang saya perjuangkan. Apakah yang
saya perjuangkan adalah seluruh umat manusia atau hanya bangsa Indonesia ?
Apakah saya berjuang untuk agama atau untuk diri saya sendiri dan keluarga ?
Apakah ada yang harus saya perjuangkan ? Karena saya masih mencari. Saya belum tahu.
Tapi saya ingin memperjuangkan sesuatu yang tidak hanya di dunia, tapi juga di
kehidupan setelah saya mati. Itu agama. Tapi saya tidak tahu tentang agama.
Oleh karena itu saya mencari tahu. Dan saya memutuskan hari ini, saat ini juga,
bahwa saya akan terus-menerus mengisi waktu luang saya dengan membaca dan
menulis. Dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, karena waktu tidak akan
kembali, karena waktu, seperti yang dikatakan oleh Lucy, yang membuat kita ada.