Jumat, 23 November 2012

Cita keduaku adalah pengacara. Kau ingat ceritaku dulu ? Ketika aku menyampaikan keinginanku menjadi pilot, ayahku menyarankanku untuk menjadi seorang diplomat. Waktu itu aku tidak tahu apa itu diplomat. Dan ayahku pun menjelaskannya kepadaku. Yang paling kuingat  "Aku ingin mengharumkan  nama Indonesia di seluruh dunia" adalah kalimat andalanku untuk memegang cita ini (tentu saja ini sebelum aku masuk HI dan mengetahui paham-paham yang akhirnya mengubah pemikiranku).

Jujur, diplomat adalah cita yang kugenggam hingga aku kelas satu SMA, setidaknya sebelum aku membaca cerpen yang mengubah seluruh pemikiranku. Entah apa yang merasukiku saat itu, aku hanya sedang merasakan rasa rajin yang luar biasa hingga aku memutuskan untuk membaca sebuah cerpen yang ada si LKS Bahasa Indonesia. Disana, ada cerpen yang berjudul "PENGACARA MUDA DAN PENGACARA TUA" , setelah aku membaca cerpen tersebut, aku benar-benar ingin menjadi seorang pengacara. Sangat menginginkannya. Setelah aku membaca cerpen itu, aku menangis sesedukan (atau cecegukan well bahasa Indonesia aku emang ga sebagus itu). Kurang lebih kayak gini cerita cerpennya.

Pengacara muda adalah anak dari pengacara tua. Pengacara muda merupakan pengacara paling handal dan berbakat di negaranya. Ada begitu banyak kasus yang berhasil dimenangkannya. Ia bukan hanya pengacara penuntut tentu saja, tapi pengacara pembela juga. Ketika ia membela kliennya, ia akan berusaha agar kliennya mendapatkan hukuman yang adil. Sungguh pengacara yang hebat dan handal. Suatu hari, pengacara muda diminta oleh negara untuk menjadi pengacara penuntut untuk kasus korupsi yang dilakukan oleh orang besar di negara tersebut. Koruptor tersebut telah menggunakan begitu banyak uang rakyat yang membuat kasus ini menjadi kasus paling terkenal seantero negara tersebut. Akan tetapi, pengacara muda ini menolaknya. Dan ternyata, disaat bersamaan, koruptor itu juga memintanya untuk menjadi pengacara pembela untuk kasusnya. Hal ini lah yang membuatnya dilema dan datang ke ayahnya, pengacara tua.

"Ayah, aku datang kesini sebagai seorang pengacara yang meminta nasihat kepada seniornya", pengacara muda memulai percakapannya.
"Tentu saja anda tahu mengenai kasus yang paling hangat saat ini. Aku diminta oleh negara menjadi pengacara penuntut dan aku menolaknya. Dan koruptor itu juga memintaku untuk menjadi pengacara pembela. Negara memiliki begitu sedikit bukti, aku yakin akan memenangkan kasus ini dengan mudah. Aku bahkan bisa membuat koruptor bangsat tersebut bebas sama sekali dari hukum", ungkap pengacara muda.

"Tentu saja. Aku percaya kau akan bisa melakukannya. Kau memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan itu. Tapi tentu saja kau tahu apa konsekuensi bila kau melakukan hal tersebut. Apa kau akan menerima permintaan untuk menjadi pengacara pembela ?", jawab pengacara tua.

"Sebagai seorang yang profesional tentu saja aku akan menerimanya. Dan aku juga tahu dampak apa yang akan ditimbulkan. Tapi aku muak dengan negara ini. Telah terlalu bobrok. Sudah saatnya ada yang bertindak. Bila aku berhasil memenangkan kasus ini maka negara ini bisa berubah. Akan terjadi suatu revolusi.", jawab pengacara muda mantap.

"Sebagai seorang pengacara, aku setuju dan mengaggumi tindakan beranimu..." jawaban pengacara tua ini dipotong oleh pengacara muda yang telah teguh hatinya dan berpamitan karena memang diburu waktu.

Beberapa hari kemudian, pengacara muda benar-benar memenangkan kasus korupsi tersebut. Bahkan koruptor itu bebas dan melarikan diri ke Singapura. Negara sedang berada di dalam situasi chaos. Dan disiarkan di TV bahwa pengacara berbakat yang memenangkan kasus itu dibunuh oleh rakyat. Terjadi revolusi besar-besaran di negara itu. 

Di dalam sebuah ruangan yang hangat seorang ayah menangis, "Harusnya kau juga mendengarkanku sebagai seorang ayah. Sebagai ayah, aku ingin kau tetap disisiku".

-Pengacara Muda dan Pengacara Tua-

Setelah membaca cerpen ini, aku menangis sangat hebat. Tangisan itu membuat mataku menjadi bak mata panda. Dan disaat itu, aku tahu bahwa aku ingin menjadi pengacara. Aku ingin menjadi seperti pengacara muda. Mengorbankan dirinya untuk negara, berjuang untuk rakyat, tapi bahkan dianggap sebagai penghianat negara. Pengorbanan yang dilakukannya menghasilkan revolusi yang mengubah keseluruhan negara bobrok itu. Tapi, dia justru dibunuh dan dianggap penghianat, Dipandang jijik!

Kau tahu, menurutku ini PAHLAWAN TANPA TANDA JASA yang sesungguhnya! Dan aku ingin menjadi sepertinya meski aku tahu bahwa cerpen ini adalah fiksi. Tapi aku benar-benar ingin menjadi pengacara.

Tapi tentu saja, aku lebih mencintai ayahku daripada hal ini. Ayahku, menginginkan aku untuk menjadi seorang diplomat. Diplomat pertama yang ada di keluarga besar. Dan aku, benar-benar ingin membuat orang yang paling aku cintai di dunia ini bangga. Aku tetap menggenggam diplomat sebagai cita pertamaku.

Ketika SNMPTN, karena aku berasal dari jurusan IPA, aku memutuskan untuk mengambil jalur IPC. Aku mati-matian bimbel IPS dan berjuang untuk itu. Ketika memilih jurusan, aku ingin sekali memilih pilihan sepert ini:
Pilihan 1: HI UI 
Pilihan 2: Hukum UI
Pilihan 3: FK UI (jujur aku sama sekali tidak tertarik dengan seluruh jurusan IPA -__-)

tapi tentu saja aku tidak diperbolehkan mengambil hukum. Aku berusaha meyakinkan untuk mengambil hukum tapi tentu saja gagal. Pada akhirnya aku memilih:
Pilihan 1: HI UI
Pilihan 2: HI Unpad
Pilihan 3: Teknik Sipil Unsri (ini setelah aku meyakinkan keluargaku bahwa aku benar-benar tidak ingin menjadi dokter).

Pada dasarnya, pilihan 2&3 hanyalah sebagai perlengkapan karena keyakinanku yang begitu besar akan kepastian lulus HI UI. hahaha. Akan tetapi takdir berkata lain, aku masuk HI Unpad. Dan hal ini adalah hal yang sangat aku syukuri.

HI Unpad biaya masuknya 6 juta rupiah, sangat berbeda dengan HI UI yang mencapai puluhan juta. Selain itu, 6 juta tersebut telah termasuk biaya per semester yang berjumlah 2 juta rupiah. Tentu saja ayahku sangat bersyukur. Dan tentu saja aku juga. Lagipula, Unpad berada di Bandung yang sejuk dan tentunya bisa membuat kulitku putih (yang ternyata berada di Jatinangor, perbatasan Bandung-Sumedang #cinca).

Dan aku juga sudah terbiasa dengan tidak mendapatkan apa yang aku inginkan tapi apa yang aku butuhkan. Well, biarkan aku sedikit bercerita tentang masa SMA ku. Waktu masuk ke SMA, aku mati-matian berjuang untuk masuk SMA N 17 Palembang. Tentu saja itu adalah SMA terbaik di Palembang. Aku berusaha untuk mendaftar bersama teman-teman SMP N 27 (which is one of unfamous junior high school in Palembang). Dalam masa pendaftaran ini, orang tua aku selalu bilang kalo test masuk SMA N 17 ini anggap aja sebagai latihan (uji kemampuan), karena keluarga aku ga sanggup bayarin biaya sekolah disini (which is jutaan rupiah #gila ya SMA aja ampe jutaan!). Tapong, karena aku bener-bener pengen masuk SMA ini, aku berusaha sekerasnya dan lulus sampe tahap akhir. So, tinggal bayar duit masuk langsung sekolah. Tapiiiiiii, ga dibayarin oleh bokap (T_T). Awalnya sih sedih banget, tapi karena itu aku jadi masuk SMA N 6 (awalnya aku mau dimasukkin ke SMA N 3, bagus sih SMA nya, tapi jaraknya deket banget dengan IAIN tempat abi aku ngajar coba -___-). Di SMA N 6, aku kenal dengan MBM (Anggi, Adis, Yepi) yang udah aku anggep kayak keluarga sendiri. Apalagi di SMA N 6, aku dapet hidayah buat nutup aurat, jadi aku bener-bener bersyukur.

Dan gitu juga dengan keadaan jurusan aku sekarang. Aku emang bener-bener pengen masuk jurusan hukum, tapi itu dulu. Aku yakin aku bakal bener-bener nyesel kalo aku malah masuk Hukum UI. Karena, kalo aku masuk Hukum UI, aku bakal cuma belajar tentang hukum, sedangkan kalo aku masuk HI Unpad, aku belajar tentang banyak hal. And anyway, aku punya mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Hukum Internasional 1, dan Hukum Internasional II, yang diajar oleh pak Hasan Sidik (dosen favorit aku dooong ><).

Dan, sekarang cita aku adalah jadi Menteri Luar Negeri. Dan tentu aja, banggain abi dan umi.
Dalam hidup ini, aku bakalan lakuin apa pun yang orang tua aku pengenin (selama masih yang dibolehin oleh Allah SWT). Karena aku tahu dan sadar, apa pun yang diinginkan oleh orang tua kita adalah yang terbaik, dan juga karena orang tua kita yang paling tau tentang kita. Bahkan terkadang orang tua lebih tau dari pada diri kita sendiri. Hahahaha.

BTW, abi aku ga pernah tau aku bener-bener pengen jadi pengacara, karena aku selalu bilang pengen jadi diplomat. Dan, temen-temen aku pun ga ada yang tahu. Hahahaha

Jujur, pernah ada yang bilang gini sama aku, "Ini hidup kamu apa ayah kamu sih ?". Dulu aku sakit hati banget denger ini. Tapi aku sekarang bisa jawab dengan senyum, "Ini hidup aku :)". Tapi ga ada salahnya kan kalo ayah aku jadi motivator dalam hidup aku ? 
 
Toh sampe sekarang aku sangat amat bersyukur udah ngikutin apa yang disaranin oleh abi aku. Kalo bukan karena saran abi aku, aku ga mungkin masuk BEM KEMA, ga mungkin ke Thailand, dan ga mungkin sekarang jadi mahasiswa HI Unpad 2011 :D.
Aku, bakal selalu minta saran sama orang tua tentang apa pun yang aku lakuin, bukan karena ini bukan hidup aku atau karena aku terlalu lemah, aku cuma pengen melakukan apa yang aku inginkan. Dan apa yang aku inginkan belum terlalu aku ketahui secara jelas, jadi aku butuh saran dan masukkan dari orang tua :).

Dan lagi, orang tua aku ga pernah maksa kok. Itu aku yang selalu ingin melibatkan mereka dalam hidup aku. Karena, akan sangat menyakitkan hidup sendiri, aku mau hidup sama keluarga aku :D.

Dan, sekarang aku bisa mengatakan dengan lantang dan bangga, kalo seluruh hal ini adalah pilihan hidup aku. Aku ga pernah nyalahin orang tua aku secara langsung dan dalam hati pun tidak akan pernah :).
Karena,

INI PILIHAN HIDUP AKU !!
Dan aku bangga akan hal ini, aku yang hidup, aku yang memilih, dan aku yang memutuskan.
Dan aku bersyukur :)

putrinuril . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates