“Denger-denger si Aliya cerai sama Fabian loh jeng”
“Iya, padahal hijaban and kelihatan alim gitu ya, emang orang ga bisa dinilai dari penampilan”
“Apalagi denger-denger mereka cerai karena Fabian ketahuan selingkuh, padahal selingkuhnya Cuma sekali doang jeng, kalo gue sih pura-pura ga tau aja, masa pernikahan 7 tahun ancur Cuma karena sekali selingkuh, laki gue aja berapa kali tuh, ya gue selingkuhin balik aja”
“Iya, apalagi mereka udah punya dua anak ya”
“Ah, emang tuh si Aliya, udah ga tau lagi deh gue, masa dia lebih milih jadi janda sih, aneh banget”
Aliya mendengar seluruh percakapan itu, tapi dia tetap diam sambil tetap melihat ke laptopnya dan mengerjakan pekerjaannya untuk satu bulan ke depan, ia ingin mengambil cuti.

Malam itu bagaikan salah satu malam di dalam kisah seribu satu malam. Seluruh hal terasa seperti tidak nyata. Seluruh hal terasa seperti mimpi buruk. Aliya menerima sms yang mengabarkan bahwa suaminya ada di Heaven Hotel dan sedang menunggunya untuk merayakan anniversary pernikahan mereka yang ketujuh. Aliya sangat bahagia. Bagaimana tidak, Heaven Hotel adalah hotel termewah di Jakarta. Dengan penghasilan Aliya dan Fabian, sebenarnya mudah saja bagi mereka untuk menyewa salah satu kamar di hotel itu meski biaya per malamnya mencapai tujuh puluh juta rupiah per malam mengingat gaji mereka yang mencapai ratusan juta rupiah bahkan lebih dalam satu bulan. Tapi, ini lah uniknya keluarga Fabian, dibanding bersenang-senang, keluarga Fabian lebih memilih menggunakan sebagian  uang mereka untuk membentuk yayasan bagi rakyat miskin dan sebagian lagi untuk dijadikan modal ulang dalam membuka usaha serta untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka yang sederhana. Well, sederhana bila dibandingkan rekan-rekan kerja mereka yang memiliki penghasilan serupa, dan tentunya lumayan mewah bila dilihat dari kacamata rakyat biasa. Seluruhnya tergantung cara kita melihat. Itu yang selalu diulang-ulang oleh Aliya setiap kali orang bertanya. Rumah luas yang sederhana. Itu yang tepat untuk menggambarkan rumah yang ditinggali oleh keluarga Fabian. Luas, indah, fasilitas lengkap, tapi tetap terlihat sederhana dan tidak mewah. Yang lebih membuat nyaman keluarga ini adalah Aliya pandai menciptakan situasi yang hangat bagi kelurganya. Oleh sebab itu, kecuali untuk travelling, keluarga Fabian sangat jarang bekeinginan untuk menghabiskan waktu keluarga mereka di hotel yang dilengkapi dengan fasilitas taman bermain dan mall seperti heaven hotel. Tapi malam ini berbeda. Malam ini adalah malam ulang tahun pernikahan mereka ketujuh. Aliya dan Fabian sangat menyukai angka tujuh. Hal yang sejak pertama telah meyakinkan mereka berjodoh satu sama lain. Jadi, Aliya menyambut undangan Fabian dengan senang hati.
Dengan hati berbunga, Aliya menyalakan jazz hitamnya dan mulai membelah jalanan ibu kota yang ramai. Putri dan Putra, anak kembarnya bersama Fabian telah Aliya titipkan kepada nenek dan kakek mereka. Seluruhnya sudah pas, sudah terencana. Malam ini akan sangat indah. Belum juga Aliya sampai di Heaven Hotel, pikiran aliya telah sampai duluan ke hotel itu. Tapi sayangnya khayalan Aliya berbeda sangat jauh dengan kenyataan yang ada. Seluruh cita hancur. Seluruh harapan musnah. Kesadaran pun musnah. Fabian telah berselingkuh!

ALIYA ! Ini tidak mungkin. Ini benar-benar tidak mungkin. Ini pertama kali aku melakukan ini. Bagaimana bisa aku bernasib sesial ini ? Pikiranku langsung kosong ketika melihat Aliya yang berada di depanku. Ia cantik seperti biasa. Astaga, bagiku ia wanita tercantik di dunia ini. Aku tidak mau kehilangan dia hanya karena mantanku ini. Apa yang telah aku lakukan ? Tuhan, aku hanya khilaf. Kumohon ini tidak nyata, kumohon.
“Berpakaianlah”, seru Aliya yang seketika memecahkan keheningan di antara kami.
Aku hanya menuruti perkataannya. Intan pun melakukan hal yang sama. Kami hanya diam. Aliya berjalan ke dalam kamar mandi dan keluar dengan wajah yang basah. Tampaknya istriku tadi mencoba mendinginkan pikirannya dengan membasuh wajahnya dengan air. “Panas karena amarah sebaiknya didinginkan dengan air, sayang”, hal itu adalah hal yang selalu diucapkannya ketika aku sedang marah. Aliya melangkah ke sofa dan mempersilakan intan duduk. “Kamu juga mas, sebaiknya kita duduk dulu”, pinta Aliya dengan lembut kepadaku. Aku menuruti permintaannya dan duduk, aku memilih untuk duduk di sebelahnya. Aliya tak bergeming. Aku takut. Tuhan, aku benar-benar takut, kumohon, jangan biarkan aku kehilangan Aliya, aku sangat mencintainya.

“Intan, apakah kamu mencintai suamiku ? Apakah penglihatanku benar, apakah kau berselingkuh dengan suamiku ?”, pertanyaan Aliya terdengar sedikit bergetar, sangat terlihat bahwa ia sedang menyembunyikan kesedihan dan kekecewaannya. Aku hanya diam. Aku benar-benar takut. Entah mengapa, melihat ketenangan Aliya, membuatku tidak mampu untuk menyangkal apa pun. Aku hanya menunggu, seperti Aliya, aku ikut menunggu jawaban Intan yang kutahu pasti jawabannya namun tetap kuharap kebalikannya.
“Ayolah Aliya, kau sudah melihatnya, apa lagi yang harus kukatakan? Kau sungguh naif! Lagipula kau yang dulu merebut Fabian dariku !”
Jawaban Intan membuatku sengit, dan kulemparkan penolakan atas jawaban Intan dan kubentak dia. Aliya tidak pernah merebutku dari siapa pun! Aku yang mengejar-ngejar Aliya, kulakukan semampuku. Sangat sulit untuk mendapatkan Aliya. Dan aku mencintainya. Dengan setulus hatiku. Dan tidak lupa kukatakan bahwa Intan lah yang telah membuangku dulu, aku lah yang Intan campakkan. Aku marah ! Sangat marah! Tapi Aliya justru menenangkanku, “Sudahlah, bukan itu yang penting sekarang mas”, katanya penuh kekecewaan.
“Mas, apakah itu benar ? Kau dengan sadar beselingkuh dengan Intan ?”
“Aku khilaf Aliya. Aku khilaf. Aku mohon maafkan aku. Ini pertama kalinya Aliya. Aku bersumpah demi Yang Menciptakanku. Ini yang pertama dan terakhir. Aku bersumpah”.
Aliya diam. Diam yang sangat lama dan menusukku. Tidak kulihat air mata. Aliya memang jarang menangis. Pertama kali kulihat ia menangis adalah ketika kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan tepat setelah tiga tahun kami menikah. Hal itu membuatku semakin mencintainya. Dia dan segala prinsip hidupnya. Mengingat ini aku menjadi semakin takut. Aku hanya diam. Aku takut. Aku takut akan kehilangan dia.
“Apakah kalian tidak tahu bahwa zina itu dosa ? Dan kamu mas, bagaimana bisa khilaf untuk hal ini ? Apakah kau tidak tahu bahwa lelaki yang telah menikah dan ia berzina maka hukumannya adalah dirajam sampai mati ?”
Aku terdiam. Aku tahu itu. Tapi aku benar-benar khilaf. Lagipula, aku belum berzina. Aku baru akan. Tuhan, maafkan aku. Kumohon. Hamba khilaf ya Rabb. Aku mohon, jangan biarkan aku kehilangan Aliya.
“Mas, tentunya kamu ingat apa syarat dariku untuk pernikahan kita. Aku tidak mau dimadu mas. Aku tidak mau diselingkuhi. Dan kau sudah melanggarnya. Intan, aku tidak akan menuntut kalian berdua. Kamu bisa memiliki mas Fabian setelah kami bercerai. Aku akan mengurus hal ini ke pengadilan besok”. Pernyataan Aliya, memusnahkan harapanku.
Bagai mimpi, sidang peerceraian kami berlangsung begitu cepat. Aku bagai tersihir. Sihir yang membuat jiwaku terbang entah kemana dan hanya tubuhku yang melakukan segala sesuatunya dengan biasa. Allah, bagaimana bisa kehidupan keluargaku berubah begitu drastis. Apa yang salah dari yang telah hamba lakukan ya Rabb ?
“Aliya, ingatlah, setelah kesulitan akan ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Itu yang dijanjikan oleh Sang Pencipta kita”, nasihat ibuku setelah sidang perceraian terus mengiang ditelingaku. Tapi tetap, rasanya begitu sulit. Lagi-lagi nasihat ibu ku mengingatkanku, “Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hambanya melebihi kemampuannya Aliya”. Ya, aku diberikan cobaan ini pasti karena Allah tahu bahwa aku mampu untuk melewatinya.
Kupandangi kedua buah hatiku yang sekarang menjadi hak asuhku setelah pengadilan memenangkanku dalam hal kepengurusan anak. Sebenarnya hal ini dipermudah dengan kerelaan mas Fabian untuk membiarkanku mengasuh kedua malaikat kecil kami itu. Aku mencintai mereka berdua. Putra dan Putri merupakan permata hatiku. Aku tahu ada begitu banyak pihak yang menghujat keputusanku dan menudingku tidak memikirkan kedua buah hatiku itu. Tapi, hal yang kulakukan adalah hal yang kuyakini benar. Ini adalah prinsip hidupku. Dan Islam memperbolehkannya. Aku bukan seorang ahli agama, tapi sebagai seorang pemeluk agama Islam, aku mengetahui dengan pasti bahwa perceraian tidaklah haram meskipun itu adalah perbuatan yang dibenci oleh Penciptaku. Aku tahu. Tapi, buat apa mempertahankan pernikahan dengan seorang penzina ? Bahkan dalam hukum agama, seorang penzina yang telah menikah harus diganjar hukuman berupa rajaman hingga malaikat maut datang menjemput. Untuk apa mempertahankan pernikahan dengan seorang yang harusnya dihukum mati ? Apakah mas Fabian akan tetap dapat menjadi seorang imam yang dapat mengantarkan keluarganya ke pintu Firdaus ? Aku yakin hal ini adalah hal yang benar. Lagipula, aku adalah seorang ibu dan seorang carrier woman. Aku memiliki penghasilanku sendiri yang tidak kalah besar dengan penghasilan mas Fabian yang membuatku lebih mandiri dan tidak tergantung dengan mas Fabian. Aku sangat mensyukuri kekerasan hati ibuku untuk memaksaku tetap berkarir sembari menjadi ibu rumah tangga yang baik. Setidaknya, dalam keputusanku untuk bercerai, uang sama sekali bukan bahan pertimbanganku.
Lima tahun setelah perceraian kami, hidup ku terasa begitu berbeda. Tidak ada lagi Aliya yang membangunkanku untuk shalat tahajud dengan lembut. Tidak ada lagi Aliya yang mengingatkanku untuk shalat. Tidak ada lagi Aliya yang menjadi makmum ketika kami sekeluarga shalat maghrib berjamaah. Tidak ada lagi Aliya yang dengan kesibukannya menjalankan tiga profesi yaitu ibu, istri, dan carrier woman yang berusaha untuk terus memasak untukku. Tidak ada lagi Aliya yang membuat hari-hariku terasa begitu sempurna. Setelah perceraian, aku dan Aliya memang tetap menjalin komunikasi. Akan tetapi Aliya adalah seorang muslimah yang taat, ia sangat mengetahui batasan dengan seorang yang bukan muhrimnya. Dan yang mengiris hatiku adalah aku termasuk “seorang yang bukan muhrim bagi Aliya”. Mengenai harta, kami tidak terlalu bermasalah. Dari awal, kami memiliki harta masing-masing. Satu-satunya harta kami berdua adalah rumah dan yayasan kami yang telah kami putuskan bersama untuk tetap menjalaninya berdua. Aliya sekarang tinggal di rumah orang tuanya. Jujur, hal ini membuatku sedikit bernapas lega. Setidaknya, orang tua Aliya menyukaiku, dan aku yakin, dengan seluruh upayaku selama lima tahun ini untuk rujuk dengan Aliya, orang tua Aliya pasti setuju dan selalu menasihati Aliya untuk kembali kepadaku. Aku masih belum merelakan Aliya.

Telah lima tahun aku bercerai dengan mas Fabian. Selama lima tahun ini pula mas Fabian terus menerus berusaha untuk membujukku kembali padanya. Tentu  saja aku menolak. Aku tidak mau untuk merubah prinsipku.  Aku terus menunda untuk menikah lagi dengan laki-laki lain karena mempertimbangkan anak-anakku yang kala itu masih berusia enam tahun. Tapi kurasa kini saat yang tepat untuk memulai lembaran baru lagi dalam hidupku. Sahabat terbaikku, Anni, tengah berusaha untuk menjodohkanku dengan saudara sepupunya, Fatih. Setelah melakukan perkenalan yang cukup singkat, kami sama-sama tertarik dengan satu sama lain dan mulai merencanakan pernikahan kami. Permasalahannya sekarang adalah mas Fabian. Aku tahu mas Fabian masih sangat mencintaiku, aku pun sebenarnya masih merasakan hal yang sama. Namun, nasi telah menjadi bubur, mas Fabian telah melakukan kesalahan yang begitu besar dan tak seharusnya ia lakukan.

Fabian mengetahui rencana Aliya untuk memulai menjalin hubungan dengan Fatih. Fabian sangat marah, tidak bisa menerima hal ini. Sampai kapan pun tidak bisa menerimanya. Bagaimana bisa menerimanya, selama lima tahun Fabian meyakinkan Aliya untuk menikah, pernikahannya hanya bertahan tujuh tahun, dan selama lima tahun ini Fabian tetap berusaha untuk mengajak Fabian rujuk. Tapi Aliya keras kepala, ia tetap bertahan pada keputusannya, tidak akan kembali pada Fabian, apa pun yang terjadi.
“Hidup ini hanya sementara mas”, ucap Aliya pada Fabian pada suatu sore di rumah orang tua Aliya. Fabian tidak mengerti arah pembicaraan Aliya. Ia dengan serius menyampaikan keinginannya untuk rujuk dengan Aliya. Kenapa hal ini yang jadi jawabannya?
“Aliya! Tolong lihat aku. Aku bersalah. Aku bersalah. AKU BERSALAH ALIYA”, Fabian yang perasaannya bercampur aduk mulai meninggikan suaranya.
“Aku tahu. Aku tahu hidup hanya sementara. Dan aku memang telah khilaf. Tapi sumpah kami belum berzina Aliya. Tak bisakah kah kau kembali padaku ? Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Tuhan saja Maha Pemaaf Aliya, tapi mengapa kau tidak juga memaafkanku ? Aku mencintaimu, aku mau berubah menjadi lebih baik. Apakah prinsipmu lebih penting dariku ? Tak adakah rasa cintamu yang tersisa untukku meski sedikit Aliya ? Tidak kasihankah kau pada kedua buah hati kita ? Kenapa kau egois sekali Aliya ? Kenapa ?”
Fabian sudah hampir gila. Lima tahun ia bersabar untuk melunakkan hati wanita yang paling dicintainya, tapi yang terjadi malah Aliya berencana untuk menikah dengan lelaki lain. Aliya menangis tersedu. Fabian tambah kalap, ia tidak pernah melihat Aliya menangis kecuali ketika orang tua Fabian meninggal, dan sekarang Aliya menangis karenanya. Ia tidak tahan lagi, ia benar-benar ingin memeluk Aliya, tapi wanita yang dicintainya itu tidak akan mau. Ia sangat bingung.
“Aku mencintaimu mas. Sangat mencintaimu. Kau masih menjadi salah satu permohonanku di setiap doa pada sang Pencipta”, Aliya berkata di sela-sela isakannya. Terasa angin segar berhembus di hati Fabian. Harapan Fabian menjadi kenyataan, belum juga Fabian hendak menjawab bahwa Aliya juga selalu menjadi permohanannya di setiap doa yang ia panjatkan, Aliya telah menghancurkan harapannya.
“Tapi mas, ini sangat sulit”.
“Tapi” kata yang paling dibenci Fabian sedari dulu. Aliya tahu pasti hal ini. Karena itu lah, setiap kali Fabian meminta pendapat, Aliya selalu menghindari kata ini. Ia akan mengganti kata “tapi” dengan kata “mungkin akan lebih baik”.  Aliya sengaja benar menggunakan kata tabu bagi Fabian ini untuk menghancurkan harapan Fabian, yang sekaligus menghancurkan harapannya sendiri.
“Sulit ? Sulit apa Aliya ?”
“Tiap malam mas, tidak, tiap hari, bahkan setiap jam, menit dan detiknya aku terus berpikir. Kenapa ? Kenapa kau melakukan itu kepadaku mas ? Rasanya sakit sekali. Sakit sekali. Apa bagian dari diriku yang salah ? Apa karena aku ? Apa selama ini hanya aku yang berbahagia bersamamu ? Bagaimana mungkin kau tega mas ? Pertanyaan ini terus menghantuiku mas, selama lima tahun terakhir. Aku berusaha tegar, menyimpan air mataku di dalam hati. Tiap hari bertanya kepada diriku sendiri, masihkah kau mencintaiku? Tiap hari aku bertengkar dengan diriku sendiri, aku ingin kembali kepadamu. Tapi aku juga sangat membencimu. Terkadang aku ingin balas dendam padamu mas, agar kau juga merasakan rasa sakit yang teramat sangat karena diselingkuhi. Aku hampir hilang akal, mendengar teman-temanku yang dengan mudahnya mengejek bahkan menasihatiku untuk menyelingkuhimu balik tanpa harus menceraikanmu. Aku....”, Aliya terisak lagi. Baru kali ini ia menyatakan segala isi hatinya. Ia masih ingin mengatakan sesuatu, hatinya belum puas, masih jauh dari sembuh. Hatinya berdarah, beku karena pengkhianatan satu-satunya cintanya. Sedangkan Fabian masih ternganga, tak disangkanya sebesar ini luka yang telah ia buat di hati wanita yang paling dicintainya. Selama ini dikiranya hanya dia yang sakit, hanya dia yang terluka, sedangkan Aliya hanya peduli pada prinsipnya saja. Selama ini, ia hanya berpikir betapa tidak adilnya untuk dirinya dihukum seperti itu oleh Aliya hanya karena satu kekhilafan kecil.
“Aku mencintaimu mas”, sambung Aliya lagi dalam isakanya. Sekarang Fabian membeku, tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku mencintaimu, karena itu lah jadi terasa begitu menyakitkan. Terkadang, aku berpikir seharusnya aku tidak memintamu menceraikanku. Tiap hari aku bertarung dengan diriku sendiri untuk meyakinkan diriku bahwa ini adalah keputusan yang terbaik. Aku............ aku mencintaimu mas..”, Aliya mulai terisak lagi.
“Cukup Aliya, cukup. Sekarang semuanya jelas kan ? Maukah kau kembali padaku Aliya? Aku sangat mencintaimu. Kembalilah padaku Aliya, kita bentuk kembali keluarga bahagia kita”, Fabian sudah tidak sanggup melihat Aliya seringkih ini. Wanita kuat yang selama ini dicintai dan dikaguminya telah menangis terisak di depannya dengan berulang kali mengatakan bahwa ia mencintainya. Fabian memeluk Aliya lembut dan berharap waktu berhenti sekarang juga.
Aliya tidak mampu lagi berbicara, ia tidak mampu menepis pelukan Fabian, yang bisa dilakukannya sekarang adalah terisak. Terisak dan terus terisak. Hingga ia tidak mampu lagi untuk terisak, dilepaskannya pelukan Fabian dengan lembut.
“Aku mencintaimu mas. Aku berharap untuk mengatakan ini berulang kali. Tapi sekarang sudah berbeda. Aku memutuskan untuk berhenti mencintaimu. Kau dulu adalah segalanya bagiku. Manusia terpenting dalam hidupku. Segalanya akan kulakukan untukmu. Tapi itu dulu mas. Aku terus bertanya mengapa musibah ini bisa menimpa kita berdua. Sekarang aku menemukan jawabannya. Mungkin Tuhan cemburu mas, tidak seharusnya aku menjadikanmu pusat dari rotasiku”
Aliya menatap Fabian lekat. “Aku beruntung mas, beruntung karena sempat memilikimu. Beruntung karena bisa menjadi ibu dari anak-anakmu. Tapi cinta memang begini mas, mungkin akan terasa begitu sakit awalnya, tapi kita akan menemukan cinta yang baru. Seperti kala kau menemukanku saat Intan pergi meninggalkanmu.”, mendengar nama Intan disebut, ekspresi Fabian seketika berubah, tapi Aliya sudah memutuskan untuk terus melanjutkan perkataannya, ditatapnya Fabian lekat.
“ Selama lima tahun ini, aku masih terus memikirkanmu. Tak pernah terlintas dalam benakku mengenai laki-laki lain. Tapi sekarang aku sadar, sekaranglah saatnya aku membuka lembaran baru dalam hidupku. Aku ingin menemukan pasangan jiwaku mas, jodoh dunia akhirat yang diberikan Tuhan kepadaku”
“Tapi, mengapa itu bukan aku Al ?”
Aliya tersenyum, dibelainya kedua pipi yang selalu diciumnya dulu.
“Karena semuanya sekarang sudah berbeda mas. Aku dan kamu. Sudah terlalu banyak luka. Dan aku juga tidak bisa meninggalkan prinsipku. Lupakan aku mas, temukanlah belahan jiwamu.”
“Itu tidak mungkin Aliya, aku yakin kau lah jodohku, kumohon Aliya, maafkan dan terimalah aku kembali”, sekarang giliran Fabian yang menangis. Pengakuan Aliya sebelumnya telah terlanjur membuahkan harapan yang begitu besar. Bagaimana mungkin akhirnya malah jadi seperti ini ?
“Mas, percayalah, hidup ini hanya sementara. Sudah kukatakan bukan ? Yang perlu kita lakukan di dunia yang sementara ini adalah berusaha semaksimal mungkin untuk mematuhi perintah Pencipta dan menjauhi larangan-Nya”
“Bila memang kita berjodoh mas, mungkin di Akhirat kita akan dipertemukan di surga-Nya. Tapi untuk di dunia, aku benar-benar telah merelakanmu. Dan apabila kau memang benar mencintaiku, maka relakanlah aku. Tolong hormati keputusanku dan ikhlaskan aku”.
Fabian terdiam. Ia hanya bisa menitikkan air matanya yang kian lama kian cepat saja jatuhnya. Ia sedikit terisak. Aliya memeluknya lembut, dan berkata “Aku mencintaimu mas. Maaf. Dan terima kasih banyak”.


Setahun kemudian, Aliya menikah dengan Fatih. Pesta yang diadakan begitu meriah. Mereka merupakan pasangan terkaya di Indonesia. Di antara banyak tamu undangan mereka, terlihat Fabian yang sedang berbincang akrab dengan Anni, sahabat terbaik Aliya.