Sabtu, 27 September 2014

Kemarin sore, sekitar pukul 17.00 WIB tanggal 23 September 2014, saya meminjam tiga buah buku di perpustakaan batu api. Dua buku feminism yang ditulis oleh Nawal El Sadaawi, seorang penulis dan dokter dari Mesir, dan sebuah buku mengenai pemikiran Tolstoy yang ditulis oleh Stefan Zweig. Kemarin malam saya telah melahap habis satu buku Nawal yang berjudul Perempuan di Titik Nol dan terkesima. Dan hari ini, saya telah membaca 155 halaman buku Nawal yang lainnya yang berjudul Perjalananku Mengelilingi Dunia. Setelah membaca dua buku ini, saya sangat terkejut dengan betapa bermanfaatnya waktu terasa dan betapa lamanya waktu berjalan ! Selama ini saya selalu berpikir bahwa waktu itu mengerikan. Selalu mengejar-ngejar dan cepat. Tapi sekarang saya justru takjub dengan betapa lamanya waktu dan betapa nikmatnya waktu itu !
Banyak yang mengatakan bahwa ketika kita benar-benar menikmati waktu, maka waktu akan terasa semakin cepat. Dan jujur saya percaya hal ini 100 persen. Tapi hal ini mulai kabur ketika saya mengalami fenomena yang saya alami ini. Waktu terasa berjalan begitu lambat dan terasa nikmat ! Benar-benar nikmat ! Mungkin ini dikarenakan saya berpikir. Bukankah Socrates menyatakan bahwa “aku berpikir maka aku ada”. Dan kalau dipikir-pikir, ini termasuk falsification dalam pemaknaan waktu di hidup saya.
Setelah saya melahap habis Perempuan di Titik Nol, saya mulai merenungkan banyak hal. Perenungan ini berbeda dengan perenungan yang biasa saya lakukan setelah saya membaca novel atau tulisan apa pun itu. Mungkin ini dipengaruhi oleh diskusi saya bersama Winda dan Lupita yang nyastra pisan dan akhirnya jadi menularkan pemikiran-pemikiran mereka yang menurut saya baru dan keren tidak hanya ke dalam otak saya, tapi juga jiwa saya. Saya yang dulu sudah pasti akan menghina Firdaus dan sekenanya mengidekan hal-hal yang menurut saya seharusnya dilakukan oleh Firdaus, layaknya mengapa ia tidak pergi saja ke luar negeri ? Akan tetapi, saya yang sekarang, yang telah berdiskusi dengan beliau-beliau di atas, merenungi lebih dalam novel ini. Saya merenungi dan mencoba mengerti Firdaus, sekaligus mencoba mengerti Nawal. Saya mulai terkesima dengan ketegaran Firdaus, dengan kekuatannya yang mungkin tidak akan saya miliki ketika saya berada di posisi dia. Dan saya mulai melihat keadaaan lingkungan Firdaus yang berada jauh di Afrika Utara sana dengan keadaan lingkungan saya di Indonesia. Dan betapa terkejutnya saya ketika menyadari bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari lingkungan kami. Pada kenyataannya, posisi perempuan di Indonesia juga tidak diuntungkan, pada kenyataannya, perempuan memang selalu dilihat dengan penuh birahi oleh laki-laki, pada kenyataannya, banyak perbuatan yang apabila dilakukan oleh laki-laki dimaklumkan tapi tidak untuk perempuan. Dan kenyataan ini menyakitkan. Kebenaran selalu menyakitkan.
Saya empati terhadap Firdaus. Perasaan yang sangat jarang saya dapatkan tapi sering saya dengungkan. Selama ini, mungkin lebih tepatnya beberapa tahun terakhir ini, saya selalu berpikir bahwa saya mengerti, semua orang memiliki sudut pandangnya masing-masing. Tapi pada dasarnya saya tidak. Di mulut saya akan menyatakan bahwa saya mengerti dan memahami, tapi secara sadar atau tidak, saya akan merasa yang paling benar dan dia salah. Tidak ada empati sedikit pun. Entah itu karena pemahaman agama saya yang salah atau karena budaya dan identitas yang telah terlalu melekat kuat. Tapi saya arogan, dan mungkin masih.
Sedangkan setelah saya membaca 155 halaman Perjalananku Mengelilingi Dunia, saya merasakan rasa malu yang amat sangat terhadap Nawal. Saya merasa seperti seseorang yang terlaknat, merugi serugi-ruginya. Allah SWT telah menyatakan di dalam suratnya bahwa manusia yang sama dengan hari kemarin saja adalah manusia yang merugi, apalagi yang lebih buruk ? Sedangkan saya adalah manusia yang semakin hari semakin jadi saja hal-hal buruknya. Tapi Allah menyayangi saya dengan kasih sayang Yang Maha. Allah SWT selalu memberikan saya teguran cinta dengan banyak hal. Dengan kecelakaan yang menimpa saya baru-baru ini dan dengan diskusi yang ditakdirkannya yang membuat saya tergugah untuk meminjam buku ke Batu Api dan memiliki ide-ide dan pemikiran-pemikiran baru. Allah SWT dengan kasih sayang-Nya Yang Maha telah menumbuhkan rasa malu yang teramat sangat kepada Nawal. Seorang dokter yang berjiwa sosial dan sadar akan politik layaknya Che Guevera. Nawal tidak hanya telah memanfaatkan waktunya dengan baik, akan tetapi ia terus-menerus belajar dan dengan rendah diri terus-menerus menimba ilmu dimana-mana. Hal ini sangat berbeda dengan saya yang apatis dan berpikir bahwa konferensi-konferensi ataupun seminar-seminar atau apa pun bentuk diskusi politik hanya itu-itu saja. Tidak ada hal yang baru. Tapi Allah SWT dengan perantara Nawal, batu api, lupita, dan winda telah membuka pemikiran saya bahwa ada sesuatu yang begitu penting dengan terus-menerus mencari tahu. Karena dengan itu lah jalan surga terbuka, dengan tahu dan melakukan yang terbaik karena telah tahu yang benar.

Jujur, saat ini saya masih belum tahu benar apa yang saya perjuangkan. Apakah yang saya perjuangkan adalah seluruh umat manusia atau hanya bangsa Indonesia ? Apakah saya berjuang untuk agama atau untuk diri saya sendiri dan keluarga ? Apakah ada yang harus saya perjuangkan ? Karena saya masih mencari. Saya belum tahu. Tapi saya ingin memperjuangkan sesuatu yang tidak hanya di dunia, tapi juga di kehidupan setelah saya mati. Itu agama. Tapi saya tidak tahu tentang agama. Oleh karena itu saya mencari tahu. Dan saya memutuskan hari ini, saat ini juga, bahwa saya akan terus-menerus mengisi waktu luang saya dengan membaca dan menulis. Dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, karena waktu tidak akan kembali, karena waktu, seperti yang dikatakan oleh Lucy, yang membuat kita ada.

putrinuril . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates